JAKARTA, KOMPAS.com -
Total anggaran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang mengendap pada bank
umum nasional pada setiap akhir periode anggaran semakin menggelembung. Per 31
Desember 2013, anggaran daerah yang mengendap mencapai rekor tertinggi, yakni
Rp 109 triliun.
Sekretaris Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Heru Subiyantoro dalam keterangan pers
bersama pejabat Kementerian Keuangan lainnya di Jakarta, Senin (6/1),
menyatakan, anggaran Rp 109 triliun itu adalah total anggaran belanja daerah
tahun 2013 yang tidak terserap sampai 31 Desember 2013. Dana itu tersimpan di
berbagai tempat. Di antaranya adalah Bank Pembangunan Daerah (BPD).
Dana mengendap sebesar
Rp 109 triliun itu menjadi rekor. Dibandingkan dana mengendap per akhir tahun
2002 senilai Rp 22,18 triliun, maka nilainya sudah hampir lima kali lipatnya.
Per akhir tahun 2009,
dana daerah mengendap mulai menggelembung, yakni Rp 59,81 triliun. Pada dua
tahun kemudian, nilainya naik menjadi Rp 80,4 triliun, dengan rincian Rp 13,12
triliun di simpanan berjangka, Rp 45,77 triliun di rekening giro yang bunganya
kecil, dan Rp 919 miliar di tabungan. Sementara pada akhir tahun 2012, nilainya
mencapai Rp 99,24 triliun.
Menteri Keuangan M
Chatib Basri, dalam kesempatan yang sama, menyatakan, pihaknya telah
menginstruksikan DJPK untuk mencari formula yang tepat untuk mendorong
penyerapan anggaran pemerintah daerah. Formulanya lebih-kurang adalah
memberikan sanksi kepada daerah yang minim penyerapan.
Skema yang tengah
dikaji, kata Chatib, adalah dengan menunda pencairan dana alokasi khusus (DAK).
Persoalannya, nilai DAK jauh lebih kecil daripada dana alokasi umum (DAU).
Karena itu, bisa saja
penahanan pencairan DAK menjadi tidak efektif. Sementara DAU yang nilainya
besar tidak bisa ditahan pencairannya karena kewajiban pemerintah pusat. ”Jadi,
lagi dicari formula yang tepat, termasuk jangan sampai melanggar Undang-Undang
Otonomi Daerah. Targetnya, tahun ini bisa diberlakukan,” kata Chatib.
Secara terpisah,
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert
Endi Jaweng menyatakan, dana mengendap di daerah disebabkan kurangnya kemampuan
birokrasi dalam mengelola anggaran. Alih-alih mengonversinya menjadi program
pembangunan, anggaran banyak ditabung di BPD.
BPD pun, kata Endi,
umumnya tidak mau repot menyalurkan anggaran tersebut menjadi kredit produktif
untuk usaha mikro, kecil, dan menengah. BPD lebih gemar membeli Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) dengan harapan mendapatkan bunga. Bunga ini secara formal akan
masuk mata anggaran lain-lain dalam pendapatan asli daerah (PAD).
Di berbagai daerah,
hasil bunga tersebut kemungkinan tidak masuk ke PAD, tetapi masuk ke kantong
kepala daerah dan kroninya. Dalam modus ini, anggaran sengaja diinvestasikan
untuk kepentingan pribadi.
”Singkatnya, ini adalah
cara malas mengelola uang. Di samping faktor birokrasi yang kurang mampu
menyerap anggaran, ada juga faktor pemda yang sengaja ingin mendapatkan PAD
tanpa susah-susah. Juga ada kecurigaan sebagai modus untuk keuntungan pribadi.
Akhirnya rakyat yang dikorbankan,” kata Endi.
Sekretaris Jenderal
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto berpendapat,
sisa anggaran tak terserap di daerah rawan dimanfaatkan untuk pemilihan umum
kepala daerah. Setidaknya modus tersebut sudah terungkap di Kabupaten
Situbondo. (LAS)
Editor : Bambang Priyo Jatmiko
Sumber : KOMPAS CETAK
ANALISIS
MASALAH
Dana anggaran daerah
yang mengendap setiap tahunnya mengalami peningkatannya Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan (DJPK) Heru Subiyantoro dalam keterangan pers bersama pejabat
Kementerian Keuangan lainnya di Jakarta, Senin (6/1), menyatakan, anggaran Rp
109 triliun itu adalah total anggaran belanja daerah tahun 2013 yang tidak
terserap sampai 31 Desember 2013. Dana itu tersimpan di berbagai tempat. Di
antaranya adalah Bank Pembangunan Daerah (BPD).
Dana mengendap sebesar
Rp 109 triliun itu menjadi rekor. Dibandingkan dana mengendap per akhir tahun
2002 senilai Rp 22,18 triliun, maka nilainya sudah hampir lima kali lipatnya.
Per akhir tahun 2009,
dana daerah mengendap mulai menggelembung, yakni Rp 59,81 triliun. Pada dua
tahun kemudian, nilainya naik menjadi Rp 80,4 triliun, dengan rincian Rp 13,12
triliun di simpanan berjangka, Rp 45,77 triliun di rekening giro yang bunganya
kecil, dan Rp 919 miliar di tabungan. Sementara pada akhir tahun 2012, nilainya
mencapai Rp 99,24 triliun.
Diharapkan pemerintah
daerah dapat memanfaatkan dana anggaran yang ada dengan lebih bijaksana lagi
untuk pembangunan daerah masing – masing, dan peningkatan kualitas kinerja pemerintah daerah .