JAKARTA, KOMPAS.com -
Tingginya konversi lahan menjadi permukiman masih menjadi salah satu hambatan
pembangunan pertanian dalam negeri.
"Memang data yang secara pasti kami memang tidak pernah mendapag laporan. Tetapi bahwa melihat indikasi yang ada, konversi masih di atas 100.000 (hektar) kayaknya memang benar," kata Suswono, Selasa (7/1/2014).
Padahal, lanjutnya, kemampuan cetak sawah saat ini tak lebih dari 50.000 hektar. Kondisi ini diakuinya tidak menutup kemungkinan defisit pertanian akan terus terjadi.
"Lahan pertanian produktif tidak kurang dari 50.000 hektar per tahun. Ini kan ancaman. Oleh karena itu saya berharap betul Pemda (Pemerintah Daerah) segera mengeluarkan Perda (Peraturan Daerah) perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, karena itu adalah amanat Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009," ujar Suswono.
Dalam UU tersebut, kata dia, sangat jelas bahwa yang menetapkan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah melalui perda. Oleh karena itu, Suswono berharap pemerintah daerah dapat peka terhadap konversi lahan.
Di samping itu, ia juga berharap agar pemerintah daerah yang menetapkan lahan pertanian berkelanjutan jangan hanya berpikir untuk daerahnya sendiri.
"Kalau daerah merupakan penyangga pangan nasional, seharusnya juga berpikir secara nasional, artinya jangan menetapkan lahan berkelanjutan hanya untuk memenuhi warganya sendiri. Tetapi dia juga bisa memberikan kontribusi bagi pangan nasional. Jadi penetapannya harus cukup besar," ungkap Suswono.
"Memang data yang secara pasti kami memang tidak pernah mendapag laporan. Tetapi bahwa melihat indikasi yang ada, konversi masih di atas 100.000 (hektar) kayaknya memang benar," kata Suswono, Selasa (7/1/2014).
Padahal, lanjutnya, kemampuan cetak sawah saat ini tak lebih dari 50.000 hektar. Kondisi ini diakuinya tidak menutup kemungkinan defisit pertanian akan terus terjadi.
"Lahan pertanian produktif tidak kurang dari 50.000 hektar per tahun. Ini kan ancaman. Oleh karena itu saya berharap betul Pemda (Pemerintah Daerah) segera mengeluarkan Perda (Peraturan Daerah) perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, karena itu adalah amanat Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009," ujar Suswono.
Dalam UU tersebut, kata dia, sangat jelas bahwa yang menetapkan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah melalui perda. Oleh karena itu, Suswono berharap pemerintah daerah dapat peka terhadap konversi lahan.
Di samping itu, ia juga berharap agar pemerintah daerah yang menetapkan lahan pertanian berkelanjutan jangan hanya berpikir untuk daerahnya sendiri.
"Kalau daerah merupakan penyangga pangan nasional, seharusnya juga berpikir secara nasional, artinya jangan menetapkan lahan berkelanjutan hanya untuk memenuhi warganya sendiri. Tetapi dia juga bisa memberikan kontribusi bagi pangan nasional. Jadi penetapannya harus cukup besar," ungkap Suswono.
Penulis
|
: Sakina Rakhma Diah
Setiawan
|
Editor
|
: Bambang Priyo
Jatmiko
|
ANALISIS
MASALAH
Kebutuhan perumahan
masyarakat, akibat pertumbuhan masyarakat yang tidak sebanding dengan
pertumbuhan lahan yang ada, menimbulkan berbagai permasalahn lahan. Permasalahan
yang timbul adalah ketika banyak konversi lahan pertanian menjadi pemukinan
penduduk.
Hal ini menyebabkan
pertumbuhan pertanian di Indonesia mengalami penurunan dan produksi hasil
pangan petani juga ikut mengalami penurunan karna masalah lahan ini, bertambahnya
penduduk yang membutuhkan pemukiman banyak yang mengalihfungsikan lahan
pertanian menjadi pemukiman penduduk.
Keputusan yang bisa
dilakukan pemerintah adalah dengan membuat peraturan yang dapat membatasi
konversi lahan pertanian menjadi pemukiman disertai dengan sanksi yang tegas,
sehingga hasil produksi pertanian dapat kembali tumbuh dan mengalami perkembangan
yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar